selamat datang

Jumat, 22 Januari 2016

Anak Tujuh Belas Tahun Bicara Kemanusiaan


Aku mau mengerti ketika seorang meninggalkan orang lain tanpa alasan. Aku bisa memahami ketika seorang memilih menjadi brandalan. Tapi aku takkan pernah mau mengerti dan takkan pernah bisa memahami ketika seorang dengan sampai hati menghilangkan nyawa orang lain. Persetan atas nama apapun, aku tidak pernah sanggup untuk peduli! Bagiku kemanusiaan adalah hal paling inti dari seorang manusia. Ketika rasa itu sudah hilang dari jiwanya, entah apakah aku masih bisa melihatnya sebagai manusia.
     Kau bisa membeli kebahagiaan. Toh itu jika kau menganggap bahagia sebagai sesuatu yang bisa dibeli. Kau bisa membeli orang lain. Toh itu jika kau suka dengan orang lain yang bisa dibeli. Tapi aku bersumpah kau takkan mampu membeli rasa kemanusiaan! Kecuali kau berbesar hati menanamkan dalam jiwamu. Maka rasa itu akan tumbuh, seiring kau memupuknya dengan baik.
     Bukan satu dua kali aku mendengar berita miris ini, namun puluhan kali dalam tujuh belas tahun hidupku aku mendengarnya. Kejahatan kemanusiaan, pembantaian atau padanan kata lainnya. Persetan dengan itu, karena bukan itu letak masalahnya.
Aku merasa ada yang salah ketika sekolah dimaksudkan untuk mendidik seseorang menjadi seseorang yang pandai. Orang jahat selalu pandai, aku yakin itu. Namun lain lagi jika sekolah dimaksudkan untuk membentuk karakter yang baik pada diri seseorang atau minimal menjaga selalu rasa kemanusiaan dalam jiwanya. Maka orang jahat akan lebih memilih tidak bersekolah. Namun belakangan aku ragu dengan kalimat yang aku tulis di atas, karena apa? Karena berita di televisi Indonesia akhir-akhir ini tengah memberitakan kejahatan kemanusiaan yang pelakunya adalah guru, atau bisa disebut si “mascot” sekolahan. Kejahatan kemanusiaan itu melanda anak kecil yang masih polos. Tanpa mengurangi rasa hormatku, aku berharap ia bukan seorang guru betulan. Aku berharap aku tengah salah menonton berita.
     Berpuluh-puluh tahun, Palestina dibombardir oleh Israel. Ketika aku di usia tujuh belas tahunku mencintai lawan jenis dengan setengah mati, mereka seusiaku tengah bertahan mati-matian utuk hidup. Maka malulah kalian dan aku sendiri yang labil mengahadapi cinta monyet. Mereka yang hidup di Palestina bahkan mungkin tidak pernah mengenal cinta monyet. Bagi mereka cinta adalah damai, cinta adalah kuat, cinta adalah hidup. Dan mereka akan lebih suka mengibaratkan cinta sebagai harimau, binatang yang kuat, sebagai perwujudan semangat mereka. Bukan cinta sebagai monyet, binatang yang buruk rupa, sebagai perwujudan rupa yang ‘mengibaratkannya’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

write a comment . . .