Aku mau mengerti ketika seorang meninggalkan orang lain tanpa alasan.
Aku bisa memahami ketika seorang memilih menjadi brandalan. Tapi aku takkan
pernah mau mengerti dan takkan pernah bisa memahami ketika seorang dengan
sampai hati menghilangkan nyawa orang lain. Persetan atas nama apapun, aku
tidak pernah sanggup untuk peduli! Bagiku kemanusiaan adalah hal paling inti
dari seorang manusia. Ketika rasa itu sudah hilang dari jiwanya, entah apakah
aku masih bisa melihatnya sebagai manusia.
Kau bisa membeli kebahagiaan. Toh itu jika
kau menganggap bahagia sebagai sesuatu yang bisa dibeli. Kau bisa membeli orang
lain. Toh itu jika kau suka dengan orang lain yang bisa dibeli. Tapi aku
bersumpah kau takkan mampu membeli rasa kemanusiaan! Kecuali kau berbesar hati
menanamkan dalam jiwamu. Maka rasa itu akan tumbuh, seiring kau memupuknya
dengan baik.
Bukan satu dua kali aku mendengar berita
miris ini, namun puluhan kali dalam tujuh belas tahun hidupku aku mendengarnya.
Kejahatan kemanusiaan, pembantaian atau padanan kata lainnya. Persetan dengan
itu, karena bukan itu letak masalahnya.
Aku merasa ada yang salah ketika sekolah dimaksudkan untuk mendidik
seseorang menjadi seseorang yang pandai. Orang jahat selalu pandai, aku yakin
itu. Namun lain lagi jika sekolah dimaksudkan untuk membentuk karakter yang
baik pada diri seseorang atau minimal menjaga selalu rasa kemanusiaan dalam
jiwanya. Maka orang jahat akan lebih memilih tidak bersekolah. Namun belakangan
aku ragu dengan kalimat yang aku tulis di atas, karena apa? Karena berita di
televisi Indonesia akhir-akhir ini tengah memberitakan kejahatan kemanusiaan
yang pelakunya adalah guru, atau bisa disebut si “mascot” sekolahan. Kejahatan
kemanusiaan itu melanda anak kecil yang masih polos. Tanpa mengurangi rasa
hormatku, aku berharap ia bukan seorang guru betulan. Aku berharap aku tengah
salah menonton berita.
Berpuluh-puluh tahun, Palestina dibombardir
oleh Israel. Ketika aku di usia tujuh belas tahunku mencintai lawan jenis dengan
setengah mati, mereka seusiaku tengah bertahan mati-matian utuk hidup. Maka
malulah kalian dan aku sendiri yang labil mengahadapi cinta monyet. Mereka yang
hidup di Palestina bahkan mungkin tidak pernah mengenal cinta monyet. Bagi
mereka cinta adalah damai, cinta adalah kuat, cinta adalah hidup. Dan mereka
akan lebih suka mengibaratkan cinta sebagai harimau, binatang yang kuat,
sebagai perwujudan semangat mereka. Bukan cinta sebagai monyet, binatang yang
buruk rupa, sebagai perwujudan rupa yang ‘mengibaratkannya’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
write a comment . . .