Kami adalah para
pencari, pencari ilmu dan pencari pengalaman. Jangan bilang kami pencari
masalah, jangan bilang kami pencari cinta, kami memang terbentur cinta, tapi
itu bukan tujuan kami. Kami menempati sebuah kamar siap huni, dengan pecahan
keramik memenuhi setiap rongganya. Seratus tujuh puluh lima kami keluarkan tiap
bulan, tapi kami tak mendapatkan apa yang tiap kali kami suarakan. Kami adalah
INTERMEZZO.
Kini kami hanya bertujuh, mengarungi
hari demi hari yang kian kali kian menyayat hati. Menikmati suara cetar
membahana wanita dengan usia lanjut, memakan seadanya makanan kemarin sore
adalah hal yang lumrah dalam perjalanan hidup kami disini. Tujuh hari dalam
seminggu, penderitaan terus mendera dan ditebus hanya dengan satu hari
kebahagiaan semu, lalu dilanjutkan perjuangan. Inilah hidup kami disini.
Di pagi buta, suara menggelegar itu
membahana, memenuhi seluruh ruang kecil kamar kami. Kami bergegas bangun,
sebagian dari kami turun untuk mengambil air wudhu, sebagian lagi ada yang menunda
sholat dan menyusup ke kamar mandi ada pula beberapa dari kami yang menetap di
kamar. Inilah kami, para pembangkang.
Sholat subuh usai, kami berebutan
memakai kamar mandi. Bagaimana tidak, tujuh insan hanya mendapat satu kamar
mandi itupun jika baknya terisi air. Sebagian mandi, sebagian lagi sarapan.
Bukan roti dengan selai berteman susu, atau nasi dengan ayam goreng kremes yang
kami santap, melainkan hanya seonggok tempe atau tahu menemani sepiring nasi,
itupun sudah beruntung. Tak jarang kami hanya memakan lauk dan sayur mix
kemarin sore, sungguh tak bergizi. Acara pagi ini selesai, kami para pencari
telah rapi memakai seragam putih biru tua kami, melangkah ceria menuju sekolah,
tempat yang setidaknya lebih nyaman untuk kami singgahi. Berjajar-jajar kami
berjalan, membentuk sebuah formasi yang takkan hilang dalam memori, tapi sesaat
kami berhambur. Lari pontang-panting tak karuan, kami baru saja melewati
pertigaan, tempat seram versi kami. Lihat saja, seorang lelaki setengah menceng
dengan genitnya mengejar kami. Dan itu telah berlangsung dua tahun lamanya.
Jika dihitung-hitung, penderitaan itu belum sepenuhnya lenyap, ini baru pukul
setengah tujuh masih ada berjam-jam lagi penderitaan yang menanti kami. Oleh
sebab itu, kami melampiaskannya dengan kebodohan-kebodohan untuk membangkang.
Selagi kami belum bisa mendapat seratus tujuh puluh lima kami dengan layak,
maka kejahilan kami akan terus bertahan. Sempat terpikir untuk bertaubat,
menimba-nimba ini sebagai bahan pelajaran hari demi hari, tapi mana kuat jika
harus begini terus. Jangankan untuk penambahan kamar mandi, pecahan keramik itu
masih diam teronggok bisu menemani hari-hari kami di ruang hampa ini. Sementara
janji palsu terus mengalir, menyumpal sementara mulut-mulut kami, tengok saja
atap di atas. Bocor tak henti membasahi kamar ini jika tangisan langit
menimpanya, dan panasnya sungguh menyengat jika siang tiba. Kami menyadari tak
ada yang sempurna, kamipun tak pernah meminta kesempurnaan, kami hanya minta
kelayakan, sebagaimana seratus tujuh puluh lima yang kami serahkan tiap bulan,
yang sepertinya tak salah jika ditanyakan kemana larinya. Ya, kamilah para
pembangkang! Kamilah para pembangkang! Sekali lagi, kamilah para pembangkang!