selamat datang

Jumat, 22 Januari 2016

Call Me Maybe


Call Me, Maybe?

          Sebuah kisah yang mengantarkan aku pada satu fase dimana kesetiaan bukanlah mitos. Ada ribuan pasangan di dunia ini memilih bercerai karena alasan klasik: perselingkuhan atau sebut saja kehilangan rasa kesetiaan. Tapi ada pula pasangan di dunia ini yang bersama-sama menghadapi kehidupan bersama-sama seumur hidupnya, kelak pasangan inilah yang menjadi dambaan setiap orang. Namun entah harus apa aku menyebutnya, ada pula mereka yang secara resmi bukan pasangan namun memilih memendam rasa itu dengan penuh setia hingga maut menjemput, kelak kisah inilah yang akan aku antarkan untuk kalian. Bukan kisahku, tapi biarlah aku kisahkan dari sudut pandangnya.
***
Aku menatap rintik hujan dari balik kaca mobilku. Sesekali menempelkan tanganku, seakan menangkap rintik hujan yang mengalir pelan di sisi kaca mobil. Sebuah lagu legendaris dalam sejarah hidupku, ‘Call Me, Maybe?’ mengalun indah menemani perjalanan panjangku. Sebuah lagu legendaris dalam hidupku, sebuah lagu yang akan membawamu ke alam bawah sadarku.
          Sebuah obrolan ‘tak masuk akal’ di sebuah café.
“Segelas kopi yang tak pernah banyak tingkah,” katanya ramah sambil membawakan segelas kopi hitam.
“Saya tidak suka kopi hitam,” timpalku pendek.
Ia tertawa renyah, memperlihatkan deretan giginya yang rapi. Sesaat kemudian, ia telah duduk di hadapanku.
“Kau harus mencobanya.”
“Atas dasar apa saya harus mencobanya? Bahkan saya tak memesannya.”
“Aku yang memesankannya untukmu. Namaku Bara.” Ia mengulurkan tangannya, meminta berkenalan. Aku menyambut uluran tangannya yang dingin, lamat-lamat menyebutkan namaku singkat, ‘Keenan’.
“Nama yang bagus. Kau benar-benar tak ingin mencobanya? Aku tak menyematkan obat tidur atau pun semacamnya pada kopi ini. Kau boleh mempercayaiku, meski kita baru berkenalan beberapa detik yang lalu. Sungguh.” Ia tetap membujukku, kali ini dengan senyum mengembang. Aku tak mengerti sama sekali dengannya, bahkan ini kali pertamaku melihatnya. Tapi ia tampak tak mencurigakan, wajahnya bersahabat. Maka demi sopan santun, aku meminum kopi hitam itu. Rasanya pahit, jangankan menghabiskannya bahkan menelannya pun aku tak ingin.
“Kau tahu mengapa kopi ini pahit?” aku menggeleng.
“Supaya kita tahu, kalau di luar sana masih ada yang manis,” kelakarnya. Aku tersenyum menanggapi, sepertinya ia sosok yang menarik.
“Tak apa tak kau habiskan, apa kau mau pesan yang lain?”
“Cappucino,” jawabku singkat.
Ia memanggil waiter, memesan cappucino.
“Kau menunggu siapa, Keenan?” ia masih bertanya.
“Aku tak menunggu siapapun. Kau?”
“Aku?”
“Ya, kau menunggu siapa, Bara?”
“Aku menunggu kau.” Aku terlonjak kaget, apa maksud laki-laki di hadapanku ini.
“Ini tak mungkin, Bara. Bahkan kau dan aku baru berkenalan beberapa menit lalu.”
“Kau tak pernah tahu bukan? Aku selalu mengamatimu sejak dua bulan terakhir. Aku tahu, kau selalu datang sendiri dan memesan secangkir cappucino. Bahkan aku hapal, kau selalu datang tiap hari Rabu dan Jumat, pukul dua puluh. Aku tahu rutinitas itu.”
“Kau nglantur Bara, bahkan aku tak pernah melihatmu sebelumnya.”
“Bahkan sebenarnya aku tak ingin kau melihatku, Keenan. Hingga akhirnya hari ini, aku tak ingin hanya melihat punggungmu, maka ku putuskan untuk menyapamu dan mengajak berkenalan. Aku tahu ini tak masuk akal bagimu. Sesosok laki-laki dari antah brantah, datang memaksamu meminum segelas kopi pahit lalu dengan ringannya ia menggombal tentang perasaan. Aku sadar ini tak masuk akal, Keenan. Tapi kau mengerti, selalu ada bagian yang tak masuk akal dalam cinta. Kau pernah membaca kalimat ‘cinta sebatas punggung’. Bahkan aku jatuh cinta sebelum aku melihat bola matamu. Kau tahu ini sama sekali tak masuk akal, bukan?”
“Aku tak tahu harus berbuat apa, tapi kau merusak rutinitasku.” Aku bangkit dari tempatku duduk, hendak pergi. Ia mencegahku dan memegang tanganku.
“Ku mohon maafkan aku. Ku tahu aku hanya merusak rutinitasmu, tapi sungguh aku takkan datang lagi ke kehidupanmu. Mungkin ini gila, tapi ini nomorku. Telepon jika sewaktu-waktu kau perlu.” Ia menyelipkan secarik kertas ke dalam saku bajuku. Aku tercengang. Ia berlalu meninggalkanku, sebelum aku sempat mengucap kata apapun.
          Seminggu kemudian, ku pikir aku telah melupakannya. Aku tak pernah datang ke café itu lagi tiap Rabu dan Jumat. Aku pun tengah sibuk bekerja lembur hingga tak sempat mengingat kejadian tak masuk akal itu.
“Keenan, aku ada lagu baru nih, aku kirim ke ponsel kamu ya..” kata Rina, teman sekantorku yang dijuluki ‘biang update’. Aku mengangguk, tak menoleh barang sedikit. Aku tetap berkonsentrasi dengan kerjaku. Ia menaruh lagi ponselku yang telah terisi ‘lagu baru’ itu, lalu kembali meneruskan kerjanya yang tertunda.
          Malam telah larut, aku baru saja menyelesaikan pekerjaanku. Sesampainya di rumah, aku segera membenamkan tubuhku ke tempat tidur. Tiba-tiba aku teringat lagu yang diberikan Rina. Aku mengambil earphone dan kemudian memutar lagu itu. Sebuah nada mengalun indah, dominasi gitar terasa kental dalam lagu accoustik ini. Suara Boyce Avenue langsung menyentuh dasar hati, bait pertama lagu ini telah membuatku serta merta ‘jatuh cinta’. Memasuki refrain lagu ini, aku merasa menjadi ‘nostalgia’ dengan sesuatu, liriknya seperti membawa alam bawah sadarku kembali pada sosok laki-laki ‘tak masuk akal itu’.
Hey, I just met you.
And this is crazy.
But, here’s my number.
So call me, maybe?
 -bersambung

1 komentar:

write a comment . . .