Call
Me, Maybe?
Sebuah kisah yang mengantarkan aku
pada satu fase dimana kesetiaan bukanlah mitos. Ada ribuan pasangan di dunia
ini memilih bercerai karena alasan klasik: perselingkuhan atau sebut saja
kehilangan rasa kesetiaan. Tapi ada pula pasangan di dunia ini yang
bersama-sama menghadapi kehidupan bersama-sama seumur hidupnya, kelak pasangan
inilah yang menjadi dambaan setiap orang. Namun entah harus apa aku
menyebutnya, ada pula mereka yang secara resmi bukan pasangan namun memilih
memendam rasa itu dengan penuh setia hingga maut menjemput, kelak kisah inilah
yang akan aku antarkan untuk kalian. Bukan kisahku, tapi biarlah aku kisahkan
dari sudut pandangnya.
***
Aku
menatap rintik hujan dari balik kaca mobilku. Sesekali menempelkan tanganku,
seakan menangkap rintik hujan yang mengalir pelan di sisi kaca mobil. Sebuah
lagu legendaris dalam sejarah hidupku, ‘Call Me, Maybe?’ mengalun indah
menemani perjalanan panjangku. Sebuah lagu legendaris dalam hidupku, sebuah
lagu yang akan membawamu ke alam bawah sadarku.
Sebuah obrolan ‘tak masuk akal’ di
sebuah café.
“Segelas
kopi yang tak pernah banyak tingkah,” katanya ramah sambil membawakan segelas
kopi hitam.
“Saya
tidak suka kopi hitam,” timpalku pendek.
Ia
tertawa renyah, memperlihatkan deretan giginya yang rapi. Sesaat kemudian, ia
telah duduk di hadapanku.
“Kau
harus mencobanya.”
“Atas
dasar apa saya harus mencobanya? Bahkan saya tak memesannya.”
“Aku
yang memesankannya untukmu. Namaku Bara.” Ia mengulurkan tangannya, meminta
berkenalan. Aku menyambut uluran tangannya yang dingin, lamat-lamat menyebutkan
namaku singkat, ‘Keenan’.
“Nama
yang bagus. Kau benar-benar tak ingin mencobanya? Aku tak menyematkan obat
tidur atau pun semacamnya pada kopi ini. Kau boleh mempercayaiku, meski kita
baru berkenalan beberapa detik yang lalu. Sungguh.” Ia tetap membujukku, kali
ini dengan senyum mengembang. Aku tak mengerti sama sekali dengannya, bahkan
ini kali pertamaku melihatnya. Tapi ia tampak tak mencurigakan, wajahnya
bersahabat. Maka demi sopan santun, aku meminum kopi hitam itu. Rasanya pahit,
jangankan menghabiskannya bahkan menelannya pun aku tak ingin.
“Kau
tahu mengapa kopi ini pahit?” aku menggeleng.
“Supaya
kita tahu, kalau di luar sana masih ada yang manis,” kelakarnya. Aku tersenyum
menanggapi, sepertinya ia sosok yang menarik.
“Tak
apa tak kau habiskan, apa kau mau pesan yang lain?”
“Cappucino,”
jawabku singkat.
Ia
memanggil waiter, memesan cappucino.
“Kau
menunggu siapa, Keenan?” ia masih bertanya.
“Aku
tak menunggu siapapun. Kau?”
“Aku?”
“Ya,
kau menunggu siapa, Bara?”
“Aku
menunggu kau.” Aku terlonjak kaget, apa maksud laki-laki di hadapanku ini.
“Ini
tak mungkin, Bara. Bahkan kau dan aku baru berkenalan beberapa menit lalu.”
“Kau
tak pernah tahu bukan? Aku selalu mengamatimu sejak dua bulan terakhir. Aku
tahu, kau selalu datang sendiri dan memesan secangkir cappucino. Bahkan aku
hapal, kau selalu datang tiap hari Rabu dan Jumat, pukul dua puluh. Aku tahu
rutinitas itu.”
“Kau
nglantur Bara, bahkan aku tak pernah melihatmu sebelumnya.”
“Bahkan
sebenarnya aku tak ingin kau melihatku, Keenan. Hingga akhirnya hari ini, aku
tak ingin hanya melihat punggungmu, maka ku putuskan untuk menyapamu dan
mengajak berkenalan. Aku tahu ini tak masuk akal bagimu. Sesosok laki-laki dari
antah brantah, datang memaksamu meminum segelas kopi pahit lalu dengan
ringannya ia menggombal tentang perasaan. Aku sadar ini tak masuk akal, Keenan.
Tapi kau mengerti, selalu ada bagian yang tak masuk akal dalam cinta. Kau
pernah membaca kalimat ‘cinta sebatas punggung’. Bahkan aku jatuh cinta sebelum
aku melihat bola matamu. Kau tahu ini sama sekali tak masuk akal, bukan?”
“Aku
tak tahu harus berbuat apa, tapi kau merusak rutinitasku.” Aku bangkit dari
tempatku duduk, hendak pergi. Ia mencegahku dan memegang tanganku.
“Ku
mohon maafkan aku. Ku tahu aku hanya merusak rutinitasmu, tapi sungguh aku
takkan datang lagi ke kehidupanmu. Mungkin ini gila, tapi ini nomorku. Telepon
jika sewaktu-waktu kau perlu.” Ia menyelipkan secarik kertas ke dalam saku
bajuku. Aku tercengang. Ia berlalu meninggalkanku, sebelum aku sempat mengucap
kata apapun.
Seminggu kemudian, ku pikir aku telah
melupakannya. Aku tak pernah datang ke café itu lagi tiap Rabu dan Jumat. Aku
pun tengah sibuk bekerja lembur hingga tak sempat mengingat kejadian tak masuk
akal itu.
“Keenan,
aku ada lagu baru nih, aku kirim ke ponsel kamu ya..” kata Rina, teman
sekantorku yang dijuluki ‘biang update’. Aku mengangguk, tak menoleh barang
sedikit. Aku tetap berkonsentrasi dengan kerjaku. Ia menaruh lagi ponselku yang
telah terisi ‘lagu baru’ itu, lalu kembali meneruskan kerjanya yang tertunda.
Malam telah larut, aku baru saja
menyelesaikan pekerjaanku. Sesampainya di rumah, aku segera membenamkan tubuhku
ke tempat tidur. Tiba-tiba aku teringat lagu yang diberikan Rina. Aku mengambil
earphone dan kemudian memutar lagu itu. Sebuah nada mengalun indah, dominasi
gitar terasa kental dalam lagu accoustik ini. Suara Boyce Avenue langsung
menyentuh dasar hati, bait pertama lagu ini telah membuatku serta merta ‘jatuh
cinta’. Memasuki refrain lagu ini, aku merasa menjadi ‘nostalgia’ dengan
sesuatu, liriknya seperti membawa alam bawah sadarku kembali pada sosok
laki-laki ‘tak masuk akal itu’.
Hey, I just met you.
And this is crazy.
But, here’s my number.
So call me, maybe?
-bersambung